close

Pakar Gizi IPB University Komentari Diet Ala Tya Ariestya

Prof Hardinsyah, Guru Besar IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, menyampaikan apresiasi kepada penulis buku  #FitTyaAriesTya yang telah menuangkan kisahnya dengan sederhana dan menarik. Menurutnya jarang ada orang yang bisa menulis seperti ini.

Hal ini disampaikannya dalam Bedah Buku #FitTyaAriesTya di Webinar Pergizi Pangan Indonesia, (10/3) oleh Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia. Buku ini berisi kisah penulis buku yaitu Tya Ariestya dalam menerapkan suatu diet plus pengaturan olahraga dan tidur yang oleh penulis disebut “pola hidup sehat”.

Dalam kesempatan ini, Prof Hardinsyah memaparkan hasil analisis kandungan gizi terhadap 12 menu diet yang ada dalam buku tersebut.  Informasi diet yang dilakukan dalam buku tersebut diterapkan selama 5.5 bulan (29 juni sampai 14 Desember 2020).

Kandungan energi dalam diet Tya Ariestya pada dua minggu pertama 953 kkal/hari kemudian sebulan kemudian menurun menjadi 400-500 kkal/hari dan turun lagi menjadi sekitar 250- 300 kkal pada bulan-bulan berikutnya. “Saya perkirakan kebutuhan energi Tya sekitar 1700 kkal/hr. Kesimpulan saya dietnya dimulai dengan diet Rendah Energi (Diet RE) kemudian dilanjutkan dengan diet Sangat Rendah Energi (Diet SRE),” ungkap Prof Hardinsyah.

Dengan diet begini menurut Prof Hardinsyah insulin menjadi rendah dan kekurangan energi tubuh diambil dari pemecahan cadangan glikogen pada tahap awal. “Kemudian berlanjut pemecahan cadangan lemak sampai defisit energi via diet dan olahraga ditiadakan. Berbagai keluhan atau masalah efek samping pasti ada pada setiap diet ekstrim. Dalam proses ini banyak cairan, keton dan elektrolit terbuang berupa urin, ” urainya.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa dalam diet seperti ini suplemen gizi mikro diperlukan untuk mengatasi kekurangan gizi mikro dan suplemen asam lemak esensial diperlukan untuk menjaga fungsi empedu. “Selagi tidak ada komplikasi, dengan disertai minum, olahraga dan tidur yang cukup dan di bawah pengawasan profesional dan kedisiplinan klien maka permasalahan ini dapat diminimalkan, ” ungkapnya.

Ia menganalisis, berat badan Tya yang turun tersebut sekitar 65-75 persen adalah dari cadangan lemak dan selebihnya adalah air dan masa tubuh tanpa lemak yang terlarut.

Baca Juga :  Usung “Penguatan Kapasitas Inovasi dan Kolaborasi Perguruan Tinggi” Kedaireka Hadirkan RekaPreneur Pertama di Makassar

“Menerapkan diet ala Tya ini tidak mudah, karena memerlukan disiplin, ketekunan dan sanggup menerima efek samping serta didampingi profesional medis, gizi dan olahraga, bahkan kadang perlu psikolog. Selamat buat Tya yang semoga masih oke sampai saat ini, ” ungkapnya.

Lebih lanjut Prof Hardin menyatakan bahwa dalam diet ini, biaya diet dan suplemen bisa murah tapi biaya tenaga profesional tentu tidak murah atau tidak semua bisa menjangkau, kecuali pertemanan. Karena itu menurutnya, mencegah obesitas lebih baik daripada mengendalikan bila obesitas sudah terjadi. “Ada banyak cara mencegah dan mengendalikan lemak tubuh, tapi tidak ada satu cara yang paling sehat untuk semua orang, ” tegasnya.

“Menurut saya kelemahan pernyataan yang tertulis di buku Tya ini ada dua dan itu tidak benar. Yaitu pernyataan “…kalau sayur bisa menghambat penurunan berat badan…” (halaman 41). Dan pernyataan kedua “… cara ini adalah cara paling sehat di antara banyak cara diet lainnya…” (halaman 75). Diharapkan pernyataan ini bisa dipertimbangkan untuk diralat oleh yang pemilik pernyataan dan pemilik tulisan sesuai bukti terkini yang kokoh,” ungkap Prof Hardinsyah.

Prof Hardinsyah pun memaparkan bukti-buktinya. Review yang dilakukan Swinburn BA et al pada tahun 2004 menunjukkan bahwa konsumi pangan berserat, termasuk sayuran, menurunkan risiko obesitas. Suatu studi dengan disain yang sangat meyakinkan yaitu meta-analisis, memperkuat bukti ilmiah sebelumnya bahwa konsumsi sayur dan buah tidak meningkatkan berat badan, bahkan menurunkan berat badan dan memperlambat peningkatan berat badan (Mytton OT et la, 2014).

Studi meta-analisis terkini oleh Schlesinger S et al (2019) memberikan bukti yang kuat bahwa konsumsi sayur tidak meningkatkan berat badan bahkan menurunkan berat badan, meski dikonsumsi sampai 400 g/hari. Sementara konsumsi buah bila melebihi 350 gram/hari, dapat meningkatkan berat badan. Bahkan berdasarkan tiga studi meta-analisis masing-masing oleh Carter P (2010), Li M et al (2014) dan Wang P-y et al (2016), membuktikan bahwa konsumsi sayuran hijau menurunkan risiko Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2. Juga dibuktikan melalui review dan studi meta-analisis bahwa sayuran hijau dan kubis-kubisan turut mencegah Penyakit Jantung Koroner (Pollock R.L et al, 2016 dan Tang G-Y, 2017).

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek Dukung Kolaborasi Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah melalui Matching Fund-Kedaireka

“Sungguh banyak manfaat konsumsi sayur. Semua organisasi pangan dan kesehatan tingkat dunia, dan semua lembaga pemerintah, organisasi profesi dan kepakaran di bidang pangan, gizi dan kesehatan di Indonesia, selalu menganjurkan pentingnya makan sayur bagi kesehatan, ” ungkapnya.

Dikatakannya, saat ini sebagian besar penduduk Indonesia belum cukup mengonsumsi sayur dan buah. Berdasarkan Riskesdas (2018) sejumlah 95.5 persen penduduk usia di atas usia lima tahun, konsumsi sayur dan buahnya masih rendah. Yaitu 210 gram/kapita/hari (BPS 2019). Untuk hidup sehat berdasarkan anjuran Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI, seharusnya dibutuhkan 400 gram/kapita/hari, terdiri dari 250 gram sayur dan 150 gram buah.

“Memang ada orang yang tidak suka makan sayur, tapi dengan komitmen (niat) yang kuat disertai berbagai cara kuliner dan seni menikmati makanan, hal ini dapat diatasi secara bertahap. Memperkenalkan citarasa sayur kepada anak haruslah dilakukan orangtua sejak anak usia dini. Bahkan dianjurkan saat ibu masa hamil dan menyusui supaya mengonsumsi beragam sayur yang cukup dan aman, ” jelasnya.

Ia pun menyarankan, bagi remaja dan orang dewasa yang tidak suka sayur, diharapkan tidak melemahkan edukasi dan pesan gizi tentang perlunya makan sayur sesuai anjuran Kementerian Kesehatan.

Ia mengkhawatirkan keberadaan informasi melalui public figure yang tidak sesuai teori dan bukti ilmiah serta regulasi tentang anjuran mengonsumsi sayur, akan tidak searah denagn program pemerintah dalam meningkatkan konsumsi sayur masyarakat.

Ia berharap agar media dan influencer turut menggemakan pesan pentingnya mengonsumsi sayur dan manfaatnya kepada masyarakat sesuai bukti ilmiah terkini, regulasi dan program Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian serta lembaga terkait. Sehingga masyarakat lebih waspada dan cermat memilih cara mengendalikan komposisi tubuh dan menerapkan pola hidup sehat sesuai keunikan permasalahannnya.

“Bila perlu, bisa melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada profesional atau lembaga yang berwenang di bidangnya,” imbuhnya. (**/Zul)