BERJALAN KE LUAR PAGAR

Matahari yang baru terbit
Seketika tenggelam di ruang kelas sempit
Hangat cahaya yang luruh ke tubuh
Bersalin jadi dingin AC pada suhu dua puluh
“Mentari, di mana ya mentari?
Apakah terselip di saku Pak Dosen yang ceramah di pagi hari?”

Ia bertanya dalam hati
Lalu kembali buka halaman buku

Tapi huruf-huruf di buku
Tiba-tiba terbang dalam lamunan
Seperti kafilah laron
Menyerbu atap kampus penuh neon
Menutupi kalimat di diktat-diktat
Selimuti paragraf di jurnal-jurnal mahal

“Kata-kata yang kukenali,
Di mana harus kembali kugali?
Apakah tersumbat di tenggorokanmu, Bu Dosen?
Atau dicuri baliho raksasa iklan kampus kita?”

Ia bertanya pada ruang hampa
Mencari jawaban pada ingatan kampung halaman

Baca Juga :  BELAJAR MEMAHAMI KARAKTER PETANI MINYAK KAYU PUTIH DALAM HILIRISASI RISET DI PULAU BURU

“Jaleuleu Ja!
O, sungai yang mengajarkan ketabahan perjalanan
O, langit yang memberi arti kemarau dan subur pada bumi
Kembali! Aku ingin Kembali!”

Ia pun berjalan ke luar kampus
Menyentuh matahari
Mendengar lagi cerita tukang becak
Menghayati ulang nyanyi waria di perempatan kota
Mengakrabi bejibun kebijaksanaan di luar pagar tempatnya belajar

“Jaleuleu Ja!
Apa yang akan dikenang masa depan
Jika mahasiswa seperti pesakitan
Diberi ilmu dengan dosis tertentu
Yang telah diracik pasar modal global
Dan kami dirawat inap dalam ruang kelas penuh sekat?”

Ia kembali berjalan
Memungut jawaban demi jawaban
Sebab pertanyaan, lebih kekal dari nyawa dan kehidupan

Ia terus berjalan, terus saja berjalan
Menjelajah dengan kompas mata hati
Diarahkan keinginan yang tak seorangpun bisa mengunci
Tidak siapapun sanggup membeli

Baca Juga :  Cerita Mahasiswa UNAIR Lolos IISMA di Kampus Top 3 Korea Selatan

“Jaleuleu, Ja!
Ki Dewantara, biarkan aku belajar merdeka
Merdeka belajar jadi manusia
Berguru pada semesta
“Jaleuleu Ja!”

“M. Fasha Rouf “